BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Steven Johnson merupakan sindrom kelainan kulit pada selaput
lendir orifisium mata gebital. Prediksi : mulut, mata, kulit, ginjal, dan anus.
Steven Johnson tersebut disebabkan oleh beberapa mikroorganisme virus dll. Sindrom
ini jarang dijumpai pada usia 3 tahun, kebawah kemudian umurnya bervariasi dari
ringan sampai berat. Pada yang berat kesadarannya menurun, penderita dapat
soporous sampai koma, mulainya penyakit akut dapat disertai gejala prodiomal
berupa demam tinggi, malaise, nyeri kepala, batuk, pilek dan nyeri tenggorokan.
Sindrom Steven Johnson ditemukan oleh dua dokter anak
Amerika. A. M. Steven dan S.C Johnson, 1992 Sindrom Steven Johnson yang bisa
disingkat SSJ merupakan reaksi alergi yang hebat terhadap obat-obatan. Angka
kejadian Sindrom Steven Johnson sebenarnya tidak tinggi hanya sekitar 1-14 per
1 juta penduduk. Sindrom Steven Johnson dapat timbul sebagai gatal-gatal hebat
pada mulanya, diikuti dengan bengkak dan kemerahan pada kulit. Setelah beberapa
waktu, bila obat yang menyebabkan tidak dihentikan, serta dapat timbul demam,
sariawan pada mulut, mata, anus, dan kemaluan serta dapat terjadi luka-luka
seperti keropeng pada kulit. Namun pada keadaan-keadaan kelainan sistem imun
seperti HIV dan AIDS angka kejadiannya dapat meningkat secara tajam.
Dari data diatas penulis tertarik mengangkat kasus Sindrom
Steven Johnson karena Sindrom Steven Johnson sangat berbahaya bahkan dapat
menyebabkan kematian. Sindrom tidak menyerang anak dibawah 3 tahun, dan
penyebab Sindrom Steven Johnson sendiri sangat bervariasi ada yang dari
obat-obatan dan dari alergi yang hebat, dan ciri-ciri penyakit Steven Johnson
sendiri gatal-gatal pada kulit dan badan kemerah-merahan dan Sindrom ini
bervariasi ada yang berat dan ada yang ringan.
(
Support, Edisi November 2008 )
B. Tujuan
1)
Tujuan Umum
Untuk memberikan pengalaman nyata tentang Asuhan Keperawatan
dengan Kasus Sindrom Steven Johnson.
2)
Tujuan Khusus
§ Mahasiswa dapat mengetahui tentang
pengertian, penyebab, klasifikasi, tanda dan gejala, patofisiologi, pemeriksaan
penunjang, penatalaksanaa, serta komplikasi dari Sindrom Steven Johnson.
§ Mahasiswa dapat memberikan asuhan
keperawatan pada klien dengan Sindrom Steven Johnson.
§ Mahasiswa dapat memberikan
pendidikan kesehatan tentang Sindrom Steven Johnson pada klien.
3) MANFAAT
§ Dengan
penugasan ini, kami dapat memahami sindrom steven johnson
§ Dengan
makalah ini kami dapat lebih mempersiapkan diri untuk memulai praktek klinis
dibalai pengobatan yang ada nantinya.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Pengertian
Sindrom Steven Johnson adalah sindrom kelainan kulit berupa
eritema, vesikel/bula, dapat disertai purpura yang mengenai kulit, selaput
lendir di orifisium dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari baik sampai
buruk (Mansjoer, A. 2000: 136).
Sindrom Steven Johnson adalah penyakit kulit akut dan berat
yang terdiri dari erupsi kulit, kelainan di mukosa dan konjungtivitis (Junadi,
1982: 480).
Sindrom Steven Johnson adalah sindrom yang mengenai kulit,
selaput lendir di orifisium dan mata dengan keadaan umum bervariasi dan ringan
sampai berat, kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel atau bula dapat
disertai purpura (Djuanda, 1993: 127).
B. Etiologi
Penyebab belum diketahui dengan pasti, namun beberapa faktor
yang dapat dianggap sebagai penyebab adalah:
1.
Alergi obat secara sistemik (misalnya penisilin, analgetik,
arti piuretik)
o
Penisilline dan semisentetiknya
o
Sthreptomicine
o
Sulfonamida
o
Tetrasiklin
o
Anti piretik atau analgesik (derifat, salisil/pirazolon,
metamizol, metampiron dan paracetamol)
o
Klorpromazin
o
Karbamazepin
o
Tegretol
o
Jamu
2.
Infeksi mikroorganisme (bakteri, virus, jamur dan parasit)
3.
Neoplasma dan faktor endokrin
4.
Faktor fisik (sinar matahari, radiasi, sinar-X)
5.
Makanan
C. Patofisiologi
Stevens-Johnson Syndrome merupakan penyakit
hipersensitivitas yang diperantarai oleh kompleks imun yang mungkin disebabkan
oleh beberapa jenis obat, infeksi virus, dan keganasan. Kokain saat ini
ditambahkan dalam daftar obat yang mampu menyebabkan sindroma ini.Hingga
sebagian kasus yang terdeteksi, tidak terdapat etiologi spesifik yang dapat
diidentifikasi.
Di Asia Timur, sindroma yang disebabkan carbamazepine dan
fenitoin dihubungkan erat dengan (alel B*1502 dari HLA-B). Sebuah studi di
Eropa menemukan bahwa petanda gen hanya relevan untuk Asia Timur. Berdasarkan
dari temuan di Asia, dilakukan penelitian serupa di Eropa, 61% SJS/TEN yang
diinduksi allopurinol membawa HLA-B58 (alel B*5801 – frekuensi fenotif di Eropa
umumnya 3%), mengindikasikan bahwa resiko alel berbeda antar suku/etnik, lokus
HLA-B berhubungan erat dengan gen yang berhubungan.
Patogenesisnya belum jelas, kemungkinan disebabkan oleh
reaksi hipersensitif tipe III dan IV. Reaksi tipe III terjadi akibat
terbentuknya komplek antigen antibodi yang membentuk mikro-presitipasi sehingga
terjadi aktifitas sistem komplemen. Akibatnya terjadi akumulasi neutrofil yang
kemudian melepaskan lisozim dan menyebabkan kerusakan jaringan pada organ
sasaran (target organ). Reaksi hipersentifitas tipe IV terjadi akibat limfosit
T yang tersintesisasi berkontak kembali dengan antigen yang sama kemudian
limfokin dilepaskan sehingga terjadi reaksi radang (Djuanda, 2000: 147) .
1.
Reaksi Hipersensitif tipe III
Hal ini terjadi sewaktu komplek antigen antibodi yang
bersirkulasi dalam darah mengendap didalam pembuluh darah atau jaringan sebelah
hilir. Antibodi tidak ditujukan kepada jaringan tersebut, tetapi terperangkap
dalam jaringan kapilernya. Pada beberapa kasus antigen asing dapat melekat ke
jaringan menyebabkan terbentuknya kompleks antigen antibodi ditempat tersebut.
Reaksi tipe III mengaktifkan komplemen dan degranulasi sel mast sehingga
terjadi kerusakan jaringan atau kapiler ditempat terjadinya rekasi tersebut.
Neutrofil tertarik ke daerah tersebut dan mulai memfagositosis sel-sel yang
rusak sehingga terjadi pelepasan enzim-enzim sel serta penimbunan sisa sel. Hal
ini menyebabkan siklus peradangan berlanjut (Corwin, 2000: 72).
2.
Reaksi Hipersensitif Tipe IV
Pada reaksi ini diperantarai oleh sel T, terjadi pengaktifan
sel T penghasil Limfokin atau sitotoksik oleh suatu antigen sehingga terjadi
penghancuran sel-sel yang bersangkutan. Reaksi yang diperantarai oleh sel ini
bersifat lambat (delayed) memerlukan waktu 14 jam sampai 27 jam untuk
terbentuknya.
D. Manifestasi
Klinis
SSJ dan TEN biasanya mulai dengan demam, sakit kepala,
batuk, dan pegal, yang dapat berlanjut dari 1-14 hari.Kemudian pasien mengalami
ruam datar berwarna merah pada muka dan batang tubuh, sering kali kemudian
meluas ke seluruh tubuh dengan pola yang tidak rata. Daerah ruam membesar dan
meluas, sering membentuk lepuh pada tengahnya. Kulit lepuh sangat longgar, dan
mudah dilepas bila digosok. Pada TEN, bagian kulit yang luas mengelupas, sering
hanya dengan sentuhan halus.
Pada banyak orang, 30 persen atau lebih permukaan tubuh
hilang.Daerah kulit yang terpengaruh sangat nyeri dan pasien merasa sangat
sakit dengan panas-dingin dan demam.Pada beberapa orang, kuku dan rambut
rontok. Pada SSJ dan TEN, pasien mendapat lepuh pada selaput mukosa yang
melapisi mulut, tenggorokan, dubur, kelamin, dan mata.Kehilangan kulit dalam
TEN serupa dengan luka bakar yang gawat dan sama-sama berbahaya.Cairan dan
elektrolit dalam jumlah yang sangat besar dapat merembes dari daerah kulit yang
rusak.Daerah tersebut sangat rentan terhadap infeksi, yang menjadi penyebab
kematian utama akibat TEN.
Mengenal gejala awal SSJ dan segera periksa ke dokter adalah
cara terbaik untuk mengurangi efek jangka panjang yang dapat sangat
mempengaruhi orang yang mengalaminya.
Gejala awal termasuk :
·
Ruam
·
lepuh dalam mulut, mata, kuping, hidung atau alat kelamin
·
bengkak pada kelopak mata, atau mata merah
·
konjungitivitis (radang selaput yang melapisi permukaan
dalam kelopak mata dan bola mata)
·
demam terus-menerus atau gejala seperti flu
Sindrom ini jarang dijumpai pada usia 3 tahun kebawah.
Keadaan umumnya bervariasi dari ringan sampai berat. Pada yang berat
kesadarannya menurun, penderita dapat soporous sampai koma. Mulainya penyakit
akut dapat disertai gejala prodromal berupa demam tinggi, malaise, nyeri
kepala, batuk, pilek dan nyeri tenggorokan. Pada sindrom ini terlihat adanya
trias kelainan berupa:
1. Kelainan kulit
Kelainan kulit terdiri dari eritema, vesikel dan bula.
Vesikel dan bula kemudian memecah sehingga terjadi erosi yang luas. Disamping
itu dapat juga terjadi purpura. Pada bentuk yang berat kelainannya
generalisata.
2. Kelainan selaput lendir di orifisium
Kelainan selaput lendir yang tersering ialah pada mukosa
mulut (100%) kemudian disusul oleh kelainan dilubang alat genital (50%)
sedangkan dilubang hidung dan anus jarang (masing-masing 8% dan 4%). Kelainan berupa vesikel dan bula yang cepat
memecah sehingga menjadi erosi dan ekskoriasi dan krusta kehitaman. Juga dalam
terbentuk pseudomembran. Di bibir kelainan yang sering tampak yaitu krusta
berwarna hitam yang tebal.
Kelainan dimukosa dapat juga terdapat difaring, traktus
respiratorius bagian atas dan esopfagus. Stomatitis ini dapat menyebabkan
penderita sukar tidak dapat menelan. Adanya pseudomembran di faring dapat
menyebabkan keluhan sukar bernafas.
3. Kelainan mata
Kelainan mata merupakan 80% diantara semua kasus yang
tersering ialah konjungtivitis kataralis. Selain itu juga dapat berupa
kongjungtivitis purulen, perdarahan, ulkus kornea, iritis dan iridosiklitis.
Disamping trias kelainan tersebut dapat pula terdapat kelainan lain, misalnya:
nefritis dan onikolisis.
E. Komplikasi
Komplikasi yang tersering ialah bronkopneunomia yang
didapati sejumlah 16 % diantara seluruh kasus yang ada. Komplikasi yang lain
ialah kehilangan cairan atau darah, gangguan keseimbangan elektrolit dan syok.
Pada mata dapat terjadi kebutaan karena gangguan lakrimasi.
F. Penatalaksanaan
1) Kortikosteroid
Bila keadaan umum baik dan lesi tidak menyeluruh cukup
diobati dengan prednisone 30-40 mg sehari. Namun bila keadaan umumnya buruk dan
lesi menyeluruh harus diobati secara tepat dan cepat. Kortikosteroid merupakan
tindakan file-saving dan digunakan deksametason intravena dengan dosis
permulaan 4-6 x 5 mg sehari.
Umumnya masa kritis diatasi dalam beberapa hari. Pasien
steven-Johnson berat harus segera dirawat dan diberikan deksametason 6×5 mg
intravena. Setelah masa krisis teratasi, keadaan umum membaik, tidak timbul
lesi baru, lesi lama mengalami involusi, dosis diturunkan secara cepat, setiap
hari diturunkan 5 mg. Setelah dosis mencapai 5 mg sehari, deksametason
intravena diganti dengan tablet kortikosteroid, misalnya prednisone yang
diberikan keesokan harinya dengan dosis 20 mg sehari, sehari kemudian
diturunkan lagi menjadi 10 mg kemudian obat tersebut dihentikan. Lama
pengobatan kira-kira 10 hari.
Seminggu setelah pemberian kortikosteroid dilakukan
pemeriksaan elektrolit (K, Na dan Cl). Bila ada gangguan harus diatasi,
misalnya bila terjadi hipokalemia diberikan KCL 3 x 500 mg/hari dan diet rendah
garam bila terjadi hipermatremia. Untuk mengatasi efek katabolik dari
kortikosteroid diberikan diet tinggi protein/anabolik seperti nandrolok
dekanoat dan nanadrolon. Fenilpropionat dosis 25-50 mg untuk dewasa (dosis
untuk anak tergantung berat badan).
2)
Antibiotik
Untuk mencegah terjadinya infeksi misalnya bronkopneumonia
yang dapat menyebabkan kematian, dapat diberi antibiotic yang jarang
menyebabkan alergi, berspektrum luas dan bersifat bakteriosidal misalnya
gentamisin dengan dosis 2 x 80 mg.
4)
Infus dan tranfusi darah
Pengaturan keseimbangan cairan/elektrolit dan nutrisi
penting karena pasien sukar atau tidak dapat menelan akibat lesi dimulut dan
tenggorokan serta kesadaran dapat menurun. Untuk itu dapat diberikan infus
misalnya glukosa 5 % dan larutan Darrow. Bila terapi tidak memberi perbaikan
dalam 2-3 hari, maka dapat diberikan transfusi darah sebanyak 300 cc selama 2
hari berturut-turut, terutama pada kasus yang disertai purpura yang luas. Pada
kasus dengan purpura yang luas dapat pula ditambahkan vitamin C 500 mg atau
1000 mg intravena sehari dan hemostatik.
5)
Topikal
Terapi topical untuk lesi di mulut dapat berupa kenalog in
oral base. Untuk lesi di kulit yang erosif dapat diberikan sufratulle atau krim
sulfadiazine perak.
G. Pemeriksaan
Penunjang
1)
Laboratorium : Biasanya dijumpai leukositosis atau
eosinofilia. Bila disangka penyebabnya infeksi dapat dilakukan kultur darah.
2)
Histopatologi : Kelainan berupa infiltrat sel mononuklear,
oedema dan ekstravasasi sel darah merah, degenerasi lapisan basalis. Nekrosis
sel epidermal dan spongiosis dan edema intrasel di epidermis.
3)
Imunologi : Dijumpai deposit IgM dan C3 di pembuluh darah
dermal superficial serta terdapat komplek imun yang mengandung IgG, IgM, IgA.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
ü Data subjektif :
Pasien mengatakan demam, malaise, nyeri kepala, batuk, pilek
dan nyeri tenggorokan.
ü Data
Obyektif
Kulit eritema, papul,
vesikel, bula yang mudah pecah sehingga terjadi erosi yang luas, sering
didapatkan purpura. Krusta hitam dan tebal pada bibir atau selaput lendir,
stomatitis dan pseudomembran di faring, kongjungtivitis purulen, perdarahan,
ulkus kornea, iritis daniridosiklitis. Nefritis dan onikolisis.
T = 39oC, Nadi= 64x/menit BB= 40 kg TB=160 cm
ü Data
Penunjang
Laboratorium : leukositosis atau
esosinefilia
Histopatologi : infiltrat sel
mononuklear, oedema dan ekstravasasi sel darah merah, degenerasi lapisan
basalis, nekrosis sel epidermal,spongiosis dan edema intrasel di epidermis.
Imunologi : deposis IgM dan C3 serta
terdapat komplek imun yangmengandung IgG, IgM, IgA.
B. Diagnosa Keperawatan
1.
Gangguan integritas kulit berhubungan dengan inflamasi dermal dan
epidermal.
2. Gangguan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kesulitan menelan.
3. Gangguan rasa nyaman, demam, nyeri
kepala, tenggorokan b.d adanya bula
4. Gangguan intoleransi aktivitas berhubungan
dengan kelemahan fisik.
C.
Rencana Asuhan keperawatan
|
No
|
Diagnosa
|
Tujuan/KH
|
Intervensi
|
Rasional
|
|
1
|
Gangguan
integritas kulit berhubungan dengan inflamasi dermal dan epidermal
|
Tujuan:
Gangguan integritas kulit tidak terjadi.
Kriteria
Hasil: Menunjukkan kulit dan jaringan kulit yang utuh.
|
§
Observasi kulit setiap hari catat turgor sirkulasi dan
sensori serta perubahan lainnya yang terjadi.
§
Anjurkan pasien gunakan pakaian tipis dan alat tenun yang
lembut.
· Hindarkan lesi dari manipulasi dan tekanan
· Jaga linen dan pakaian tetap kering dan bersih
§
Jaga kebersihan alat tenun.
§
Kolaborasi dengan tim medis
|
§
menentukan garis dasar dimana perubahan pada status dapat
dibandingkan dan melakukan intervensi yang tepat.
§
menurunkan iritasi garis jahitan dan tekanan dari baju,
membiarkan insisi terbuka terhadap udara meningkat proses penyembuhan dan
menurunkan resiko infeksi.
§
untuk
mencegah infeksi
§
untuk
mencegah infeksi lebih lanjut.
|
|
2
|
Gangguan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d kesulitan menelan.
|
Tujuan:
Nutrisi terpenuhi.
Kriteria
Hasil: menunjukkan berat badan stabil/peningkatan berat badan
|
§
Kaji kebiasaan makanan yang disukai/tidak disukai
§ Kaji kemampuan klien untuk menelan
§ Berikan diet cair
§ Jelaskan pada klien dan keluarga tentang pentingnya
nutrisi bagi kesembuhan klien
§ Monitoring balance cairan
§ Kaji adanya tanda-tanda dehidrasi dan gangguan
elekrolit
§
Berikan makanan dalam porsi sedikit tapi sering.
§
Hidangkan makanan dalam keadaan hangat. berikan makanan
yang bervariasi
§
Kerjasama dengan ahli gizi.
|
· memberikan pasien/orang terdekat
rasa kontrol, meningkatkan partisipasi dalam perawatan dan dapat memperbaiki
pemasukan.
· Menghindari terjadinya dehidrasi
· membantu mencegah distensi gaster/
ketidaknyamanan.
· meningkatkan nafsu makan
·
kalori protein dan vitamin unt memenuhi peningkatan kebutuhan
metabolik, mempertahankan berat badan dan mendorong regenerasi jaringan.
|
|
3
|
Gangguan rasa nyaman, demam, nyeri kepala,
tenggorokan b.d adanya bula
|
Tujuan:
-Klien merasa
nyaman dalam waktu 2 x 24 jam
Kriteria hasil :
-Nyeri
berkurang / hilang
-menunjukkan ekspresi wajah/postur
tubuh rileks.
|
§ Berikan kompres dingin.
§Berikan pakaian yang tipis dari bahan yang menyerap
§Hindarkan lesi kulit dari manipulasi dan tekanan
§Usahakan pasien bisa istirahat 7-8 jam sehari.
§Monitor balance cairan.
§Monitor suhu dan nadi tiap 2 jam
§
Berikan
analgetik sesuai indikasi
|
· Menurunkan
suhu tubuh menjadi normal kembali.
§
menurunkan iritasi garis jahitan &tekanan dari baju, membiarkan
insisi terbuka terhadap udara, meningkatproses penyembuhan dan menurunkan
resiko infeksi
.
§ menghindari adanya penekanan sehingga lesi tidak
bertambah meluas
· meminimalkan dalam bergerak dan meningkatkan relaksasi,
menurunkan tegangan otot dan kelelahan umum.
§ menghindari terjadinya dehidrasi
§ meninjau sejauh mana perkembangan pasien.
§ menghilangkan
rasa nyeri
|
|
4
|
Gangguan
intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik.
|
Tujuan;
Gangguan intoleransi aktivitas tidak terjadi.
Kriteria
Hasil : Klien melaporkan peningkatan toleransi aktivitas.
|
§
Kaji
respon individu terhadap aktivitas.
§
Bantu
klien dalam memenuhi aktivitas sehari-hari dengan tingkat keterbatasan yang
dimiliki klien.
§
Jelaskan
pentingnya pembatasan energi.
§
Libatkan
keluarga dalam pemenuhan aktivitas klien
|
· mengetahui
tingkat kemampuan individu dalam pemenuhan aktivitas sehari-hari.
· klien
mendapat dukungan psikologi dari keluarga
· energi
penting untuk membantu proses metabolisme tubuh
· energi
yang dikeluarkan lebih optimal
|
D.
Catatan Perkembangan
|
No
|
Tgl/jam
|
Diagnosa
|
Implementasi
|
Evaluasi
|
|
1
|
6-10-2012
jam 9.30
|
Gangguan
integritas kulit berhubungan dengan inflamasi dermal dan epidermal.
|
§
Melakukan observasi kulit setiap hari catat turgor
sirkulasi dan sensori serta perubahan lainnya yang terjadi.
§
menganjurkan pasien gunakan pakaian tipis dan alat tenun
yang lembut.
§
menjaga kebersihan alat tenun pasien.
§
mengindarkan lesi dari manipulasi
dan tekanan
§
Melakukan kolaborasi dengan tim medis
|
S
: pasien mengatakan luka sudah mulai mengering
O
: tidak terjadi gangguan integritas kulit
A
: masalh teratasi
P
: intervensi dihentikan
|
|
2
|
6-10-2012
jam 10.00
|
Gangguan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kesulitan menelan
|
§
mengkaji kebiasaan makanan yang disukai/tidak disukai
pasien.
§
memberikan makanan dalam porsi sedikit tapi sering.
§ menyajikan
makanan dalam keadaan hangat.
§ menjelaskan pada klien dan keluarga tentang
pentingnya nutrisi bagi kesembuhan klien
§ memonitoring balance cairan
§ mengkaji adanya tanda-tanda dehidrasi dan gangguan
elekrolit
§
Memberikan makanan yang bervariasi
§
bekerjasama dengan ahli gizi.
|
S:
pasien mengatakan sudah mulai bisa menelan
O
: BB= 45 kg
-Pasien mampu menghabiskan ½ porsi
makanan.
A : masalah teratasi
P : intervensi dihentikan
|
|
3
|
7-10-2012
Jam
9.30
|
Gangguan rasa nyaman, demam, nyeri kepala,
tenggorokan b.d adanya bula
|
§ memberikan kompres dingin.
§Menganjurka pasien memakai pakaian yang tipis dari
bahan yang menyerap
§menghindarkan lesi kulit dari manipulasi dan tekanan
§mengusahakan pasien bisa istirahat 7-8 jam sehari.
§memonitori balance cairan.
§Mengukur suhu dan nadi tiap 2 jam
§
Memberikan
erikan analgetik sesuai indikasi
|
S
: pasien mengatakan sudah merasa nyaman
O
: T=37oC
nadi
= 60x/menit
A=
masalah teratasi
P=
intervensi dihentikan
|
|
4
|
7-10-2012
jam 10.20
|
Gangguan
intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik
|
§
mengkaji
respon individu terhadap aktivitas.
§
membantu
klien dalam memenuhi aktivitas sehari-hari dengan tingkat keterbatasan yang
dimiliki klien.
§
menjelaskan
pentingnya pembatasan energi.
§
melibatkan
keluarga dalam pemenuhan aktivitas klien
|
S
: pasien mengatakan sudah mulai bisa mobilisasi
O
: pasien terlihat mampu memenuhi aktivitas secara mandiri
A
: masalh teratasi
P
: intervensi dihentikan.
|
BAB IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Sindrom Steven Johnson adalah penyakit kulit akut dan berat
yang terdiri dari eropsi kulit, kelainan mukosa dan konjungtivitis dengan
keadaan umum bervariasi dari ringan sampai berat. Kelainan pada kulit berupa
eritema, vesikel/bula dapat disertai purpura. Penyebab dari penyakit SSJ ini
belum diketahui dengan pasti, namun beberapa faktor yang dapat dianggap sebagai
penyebab infeksi virus, jamu, bakteri, obat, makanan, dan lain-lain. sindrom
ini terlihat adanya trias kelainan berupa kelainan kulit, kelainan selaput
lendir, kelainan mukosa, kelainan mata. Adapun diagnosanya berupa gangguan
integritas kulit, gangguan nutrisi, gangguan nyaman, gangguan intoleransi
aktivitas, gangguan persepsi sensori.
B.
Saran
Dalam pembuatan makalah ini kelompok menyadari masih
minimnya bahan yang kelompok gunakan untuk menyusun makalah ini. Untuk itu
kelompok menyarankan supaya ada pihak lain dapat membahas masalah ini lebih
mendalam mengenai masalah ini. Dan tentunya bagi mahasiswa yang melakukan
asuhan keperawatan diharapkan harus menganalisa keadaan pasien dengan baik dan
tepat.
klik DISINI http://ngeklik.com/?id=Zahry
DAFTAR PUSTAKA
§ Corwin, Elizabeth. J. 2001. Buku
Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.
§ Doenges. 2000. Rencana Asuhan
Keperawatan Edisi 3. Jakarta: EGC.
§ Hamzah, Mochtar. 2005. Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 4. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
§ Siregar, R.S. 2004. Sindrom
Stevens Johnson. In : Saripati Penyakit Kulit. 2nd edition.
Jakarta: EGC
§ Price dan Wilson. 1991. Patofisiologi
Konsep Klinik Proses-Proses Penyakit Edisi 2. Jakarta: EGC
No comments:
Post a Comment