Saturday, June 14, 2014

STEVEN JOHSON



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Steven Johnson merupakan sindrom kelainan kulit pada selaput lendir orifisium mata gebital. Prediksi : mulut, mata, kulit, ginjal, dan anus. Steven Johnson tersebut disebabkan oleh beberapa mikroorganisme virus dll. Sindrom ini jarang dijumpai pada usia 3 tahun, kebawah kemudian umurnya bervariasi dari ringan sampai berat. Pada yang berat kesadarannya menurun, penderita dapat soporous sampai koma, mulainya penyakit akut dapat disertai gejala prodiomal berupa demam tinggi, malaise, nyeri kepala, batuk, pilek dan nyeri tenggorokan.
Sindrom Steven Johnson ditemukan oleh dua dokter anak Amerika. A. M. Steven dan S.C Johnson, 1992 Sindrom Steven Johnson yang bisa disingkat SSJ merupakan reaksi alergi yang hebat terhadap obat-obatan. Angka kejadian Sindrom Steven Johnson sebenarnya tidak tinggi hanya sekitar 1-14 per 1 juta penduduk. Sindrom Steven Johnson dapat timbul sebagai gatal-gatal hebat pada mulanya, diikuti dengan bengkak dan kemerahan pada kulit. Setelah beberapa waktu, bila obat yang menyebabkan tidak dihentikan, serta dapat timbul demam, sariawan pada mulut, mata, anus, dan kemaluan serta dapat terjadi luka-luka seperti keropeng pada kulit. Namun pada keadaan-keadaan kelainan sistem imun seperti HIV dan AIDS angka kejadiannya dapat meningkat secara tajam.
Dari data diatas penulis tertarik mengangkat kasus Sindrom Steven Johnson karena Sindrom Steven Johnson sangat berbahaya bahkan dapat menyebabkan kematian. Sindrom tidak menyerang anak dibawah 3 tahun, dan penyebab Sindrom Steven Johnson sendiri sangat bervariasi ada yang dari obat-obatan dan dari alergi yang hebat, dan ciri-ciri penyakit Steven Johnson sendiri gatal-gatal pada kulit dan badan kemerah-merahan dan Sindrom ini bervariasi ada yang berat dan ada yang ringan.
( Support, Edisi November 2008 )


B.     Tujuan
1)      Tujuan Umum
Untuk memberikan pengalaman nyata tentang Asuhan Keperawatan dengan Kasus Sindrom Steven Johnson.
2)      Tujuan Khusus
§  Mahasiswa dapat mengetahui tentang pengertian, penyebab, klasifikasi, tanda dan gejala, patofisiologi, pemeriksaan penunjang, penatalaksanaa, serta komplikasi dari Sindrom Steven Johnson.
§  Mahasiswa dapat memberikan asuhan keperawatan pada klien dengan Sindrom Steven Johnson.
§  Mahasiswa dapat memberikan pendidikan kesehatan tentang Sindrom Steven Johnson pada klien.

3)      MANFAAT
§  Dengan penugasan ini, kami dapat memahami sindrom steven johnson
§  Dengan makalah ini kami dapat lebih mempersiapkan diri untuk memulai praktek klinis dibalai pengobatan yang ada nantinya.













BAB II
TINJAUAN TEORITIS

A.    Pengertian
Sindrom Steven Johnson adalah sindrom kelainan kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat disertai purpura yang mengenai kulit, selaput lendir di orifisium dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari baik sampai buruk (Mansjoer, A. 2000: 136).
Sindrom Steven Johnson adalah penyakit kulit akut dan berat yang terdiri dari erupsi kulit, kelainan di mukosa dan konjungtivitis (Junadi, 1982: 480).
Sindrom Steven Johnson adalah sindrom yang mengenai kulit, selaput lendir di orifisium dan mata dengan keadaan umum bervariasi dan ringan sampai berat, kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel atau bula dapat disertai purpura (Djuanda, 1993: 127).

B.     Etiologi
Penyebab belum diketahui dengan pasti, namun beberapa faktor yang dapat dianggap sebagai penyebab adalah:
1.         Alergi obat secara sistemik (misalnya penisilin, analgetik, arti piuretik)
o   Penisilline dan semisentetiknya
o    Sthreptomicine
o   Sulfonamida
o   Tetrasiklin
o   Anti piretik atau analgesik (derifat, salisil/pirazolon, metamizol, metampiron dan paracetamol)
o   Klorpromazin
o   Karbamazepin
o   Tegretol
o   Jamu
2.         Infeksi mikroorganisme (bakteri, virus, jamur dan parasit)
3.         Neoplasma dan faktor endokrin
4.         Faktor fisik (sinar matahari, radiasi, sinar-X)
5.         Makanan

C.      Patofisiologi
Stevens-Johnson Syndrome merupakan penyakit hipersensitivitas yang diperantarai oleh kompleks imun yang mungkin disebabkan oleh beberapa jenis obat, infeksi virus, dan keganasan. Kokain saat ini ditambahkan dalam daftar obat yang mampu menyebabkan sindroma ini.Hingga sebagian kasus yang terdeteksi, tidak terdapat etiologi spesifik yang dapat diidentifikasi.
Di Asia Timur, sindroma yang disebabkan carbamazepine dan fenitoin dihubungkan erat dengan (alel B*1502 dari HLA-B). Sebuah studi di Eropa menemukan bahwa petanda gen hanya relevan untuk Asia Timur. Berdasarkan dari temuan di Asia, dilakukan penelitian serupa di Eropa, 61% SJS/TEN yang diinduksi allopurinol membawa HLA-B58 (alel B*5801 – frekuensi fenotif di Eropa umumnya 3%), mengindikasikan bahwa resiko alel berbeda antar suku/etnik, lokus HLA-B berhubungan erat dengan gen yang berhubungan.
Patogenesisnya belum jelas, kemungkinan disebabkan oleh reaksi hipersensitif tipe III dan IV. Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya komplek antigen antibodi yang membentuk mikro-presitipasi sehingga terjadi aktifitas sistem komplemen. Akibatnya terjadi akumulasi neutrofil yang kemudian melepaskan lisozim dan menyebabkan kerusakan jaringan pada organ sasaran (target organ). Reaksi hipersentifitas tipe IV terjadi akibat limfosit T yang tersintesisasi berkontak kembali dengan antigen yang sama kemudian limfokin dilepaskan sehingga terjadi reaksi radang (Djuanda, 2000: 147) .
1.         Reaksi Hipersensitif tipe III
Hal ini terjadi sewaktu komplek antigen antibodi yang bersirkulasi dalam darah mengendap didalam pembuluh darah atau jaringan sebelah hilir. Antibodi tidak ditujukan kepada jaringan tersebut, tetapi terperangkap dalam jaringan kapilernya. Pada beberapa kasus antigen asing dapat melekat ke jaringan menyebabkan terbentuknya kompleks antigen antibodi ditempat tersebut. Reaksi tipe III mengaktifkan komplemen dan degranulasi sel mast sehingga terjadi kerusakan jaringan atau kapiler ditempat terjadinya rekasi tersebut. Neutrofil tertarik ke daerah tersebut dan mulai memfagositosis sel-sel yang rusak sehingga terjadi pelepasan enzim-enzim sel serta penimbunan sisa sel. Hal ini menyebabkan siklus peradangan berlanjut (Corwin, 2000: 72).

2.         Reaksi Hipersensitif Tipe IV
Pada reaksi ini diperantarai oleh sel T, terjadi pengaktifan sel T penghasil Limfokin atau sitotoksik oleh suatu antigen sehingga terjadi penghancuran sel-sel yang bersangkutan. Reaksi yang diperantarai oleh sel ini bersifat lambat (delayed) memerlukan waktu 14 jam sampai 27 jam untuk terbentuknya.

D.    Manifestasi Klinis
SSJ dan TEN biasanya mulai dengan demam, sakit kepala, batuk, dan pegal, yang dapat berlanjut dari 1-14 hari.Kemudian pasien mengalami ruam datar berwarna merah pada muka dan batang tubuh, sering kali kemudian meluas ke seluruh tubuh dengan pola yang tidak rata. Daerah ruam membesar dan meluas, sering membentuk lepuh pada tengahnya. Kulit lepuh sangat longgar, dan mudah dilepas bila digosok. Pada TEN, bagian kulit yang luas mengelupas, sering hanya dengan sentuhan halus.
Pada banyak orang, 30 persen atau lebih permukaan tubuh hilang.Daerah kulit yang terpengaruh sangat nyeri dan pasien merasa sangat sakit dengan panas-dingin dan demam.Pada beberapa orang, kuku dan rambut rontok. Pada SSJ dan TEN, pasien mendapat lepuh pada selaput mukosa yang melapisi mulut, tenggorokan, dubur, kelamin, dan mata.Kehilangan kulit dalam TEN serupa dengan luka bakar yang gawat dan sama-sama berbahaya.Cairan dan elektrolit dalam jumlah yang sangat besar dapat merembes dari daerah kulit yang rusak.Daerah tersebut sangat rentan terhadap infeksi, yang menjadi penyebab kematian utama akibat TEN.
Mengenal gejala awal SSJ dan segera periksa ke dokter adalah cara terbaik untuk mengurangi efek jangka panjang yang dapat sangat mempengaruhi orang yang mengalaminya.
Gejala awal termasuk :
·         Ruam
·         lepuh dalam mulut, mata, kuping, hidung atau alat kelamin
·         bengkak pada kelopak mata, atau mata merah
·         konjungitivitis (radang selaput yang melapisi permukaan dalam kelopak mata dan bola mata)
·         demam terus-menerus atau gejala seperti flu
Sindrom ini jarang dijumpai pada usia 3 tahun kebawah. Keadaan umumnya bervariasi dari ringan sampai berat. Pada yang berat kesadarannya menurun, penderita dapat soporous sampai koma. Mulainya penyakit akut dapat disertai gejala prodromal berupa demam tinggi, malaise, nyeri kepala, batuk, pilek dan nyeri tenggorokan. Pada sindrom ini terlihat adanya trias kelainan berupa:
1.      Kelainan kulit
Kelainan kulit terdiri dari eritema, vesikel dan bula. Vesikel dan bula kemudian memecah sehingga terjadi erosi yang luas. Disamping itu dapat juga terjadi purpura. Pada bentuk yang berat kelainannya generalisata.
2.      Kelainan selaput lendir di orifisium
Kelainan selaput lendir yang tersering ialah pada mukosa mulut (100%) kemudian disusul oleh kelainan dilubang alat genital (50%) sedangkan dilubang hidung dan anus jarang (masing-masing 8% dan 4%).  Kelainan berupa vesikel dan bula yang cepat memecah sehingga menjadi erosi dan ekskoriasi dan krusta kehitaman. Juga dalam terbentuk pseudomembran. Di bibir kelainan yang sering tampak yaitu krusta berwarna hitam yang tebal.
Kelainan dimukosa dapat juga terdapat difaring, traktus respiratorius bagian atas dan esopfagus. Stomatitis ini dapat menyebabkan penderita sukar tidak dapat menelan. Adanya pseudomembran di faring dapat menyebabkan keluhan sukar bernafas.
3.      Kelainan mata
Kelainan mata merupakan 80% diantara semua kasus yang tersering ialah konjungtivitis kataralis. Selain itu juga dapat berupa kongjungtivitis purulen, perdarahan, ulkus kornea, iritis dan iridosiklitis. Disamping trias kelainan tersebut dapat pula terdapat kelainan lain, misalnya: nefritis dan onikolisis.

E.     Komplikasi
Komplikasi yang tersering ialah bronkopneunomia yang didapati sejumlah 16 % diantara seluruh kasus yang ada. Komplikasi yang lain ialah kehilangan cairan atau darah, gangguan keseimbangan elektrolit dan syok. Pada mata dapat terjadi kebutaan karena gangguan lakrimasi.

F.      Penatalaksanaan
1)      Kortikosteroid
Bila keadaan umum baik dan lesi tidak menyeluruh cukup diobati dengan prednisone 30-40 mg sehari. Namun bila keadaan umumnya buruk dan lesi menyeluruh harus diobati secara tepat dan cepat. Kortikosteroid merupakan tindakan file-saving dan digunakan deksametason intravena dengan dosis permulaan 4-6 x 5 mg sehari.
Umumnya masa kritis diatasi dalam beberapa hari. Pasien steven-Johnson berat harus segera dirawat dan diberikan deksametason 6×5 mg intravena. Setelah masa krisis teratasi, keadaan umum membaik, tidak timbul lesi baru, lesi lama mengalami involusi, dosis diturunkan secara cepat, setiap hari diturunkan 5 mg. Setelah dosis mencapai 5 mg sehari, deksametason intravena diganti dengan tablet kortikosteroid, misalnya prednisone yang diberikan keesokan harinya dengan dosis 20 mg sehari, sehari kemudian diturunkan lagi menjadi 10 mg kemudian obat tersebut dihentikan. Lama pengobatan kira-kira 10 hari.
Seminggu setelah pemberian kortikosteroid dilakukan pemeriksaan elektrolit (K, Na dan Cl). Bila ada gangguan harus diatasi, misalnya bila terjadi hipokalemia diberikan KCL 3 x 500 mg/hari dan diet rendah garam bila terjadi hipermatremia. Untuk mengatasi efek katabolik dari kortikosteroid diberikan diet tinggi protein/anabolik seperti nandrolok dekanoat dan nanadrolon. Fenilpropionat dosis 25-50 mg untuk dewasa (dosis untuk anak tergantung berat badan).

2)         Antibiotik
Untuk mencegah terjadinya infeksi misalnya bronkopneumonia yang dapat menyebabkan kematian, dapat diberi antibiotic yang jarang menyebabkan alergi, berspektrum luas dan bersifat bakteriosidal misalnya gentamisin dengan dosis 2 x 80 mg.

4)         Infus dan tranfusi darah
Pengaturan keseimbangan cairan/elektrolit dan nutrisi penting karena pasien sukar atau tidak dapat menelan akibat lesi dimulut dan tenggorokan serta kesadaran dapat menurun. Untuk itu dapat diberikan infus misalnya glukosa 5 % dan larutan Darrow. Bila terapi tidak memberi perbaikan dalam 2-3 hari, maka dapat diberikan transfusi darah sebanyak 300 cc selama 2 hari berturut-turut, terutama pada kasus yang disertai purpura yang luas. Pada kasus dengan purpura yang luas dapat pula ditambahkan vitamin C 500 mg atau 1000 mg intravena sehari dan hemostatik.

5)         Topikal
Terapi topical untuk lesi di mulut dapat berupa kenalog in oral base. Untuk lesi di kulit yang erosif dapat diberikan sufratulle atau krim sulfadiazine perak.

G.    Pemeriksaan Penunjang
1)         Laboratorium : Biasanya dijumpai leukositosis atau eosinofilia. Bila disangka penyebabnya infeksi dapat dilakukan kultur darah.
2)         Histopatologi : Kelainan berupa infiltrat sel mononuklear, oedema dan ekstravasasi sel darah merah, degenerasi lapisan basalis. Nekrosis sel epidermal dan spongiosis dan edema intrasel di epidermis.
3)         Imunologi : Dijumpai deposit IgM dan C3 di pembuluh darah dermal superficial serta terdapat komplek imun yang mengandung IgG, IgM, IgA.



BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

A.    Pengkajian
ü Data subjektif :
Pasien mengatakan demam, malaise, nyeri kepala, batuk, pilek dan nyeri tenggorokan.
ü Data Obyektif
Kulit eritema, papul, vesikel, bula yang mudah pecah sehingga terjadi erosi yang luas, sering didapatkan purpura. Krusta hitam dan tebal pada bibir atau selaput lendir, stomatitis dan pseudomembran di faring, kongjungtivitis purulen, perdarahan, ulkus kornea, iritis daniridosiklitis. Nefritis dan onikolisis.
T = 39oC,  Nadi= 64x/menit BB= 40 kg TB=160 cm
ü Data Penunjang
Laboratorium : leukositosis atau esosinefilia
Histopatologi : infiltrat sel mononuklear, oedema dan ekstravasasi sel darah merah, degenerasi lapisan basalis, nekrosis sel epidermal,spongiosis dan edema intrasel di epidermis.
Imunologi : deposis IgM dan C3 serta terdapat komplek imun yangmengandung IgG, IgM, IgA.
B.     Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan  inflamasi dermal dan epidermal.
2.   Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan  kesulitan menelan.
3.    Gangguan rasa nyaman, demam, nyeri kepala, tenggorokan b.d adanya bula
4.    Gangguan intoleransi aktivitas berhubungan dengan  kelemahan fisik.




C.          Rencana Asuhan keperawatan
No
Diagnosa
Tujuan/KH
Intervensi
Rasional
1
Gangguan integritas kulit berhubungan dengan  inflamasi dermal dan epidermal
Tujuan: Gangguan integritas kulit tidak terjadi.

Kriteria Hasil: Menunjukkan kulit dan jaringan kulit yang utuh.

§  Observasi kulit setiap hari catat turgor sirkulasi dan sensori serta perubahan lainnya yang terjadi.



§  Anjurkan pasien gunakan pakaian tipis dan alat tenun yang lembut.
·   Hindarkan lesi dari manipulasi dan tekanan
·   Jaga linen dan pakaian tetap kering dan bersih
§  Jaga kebersihan alat tenun.
§  Kolaborasi dengan tim medis

§ menentukan garis dasar dimana perubahan pada status dapat dibandingkan dan melakukan intervensi yang tepat.
§ menurunkan iritasi garis jahitan dan tekanan dari baju, membiarkan insisi terbuka terhadap udara meningkat proses penyembuhan dan menurunkan resiko infeksi.
§ untuk mencegah infeksi
§ untuk mencegah infeksi lebih lanjut.

2
Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d  kesulitan menelan.
Tujuan: Nutrisi terpenuhi.

Kriteria Hasil: menunjukkan berat badan stabil/peningkatan berat badan
§  Kaji kebiasaan makanan yang disukai/tidak disukai
§ Kaji kemampuan klien untuk menelan
§ Berikan diet cair
§ Jelaskan pada klien dan keluarga tentang pentingnya nutrisi bagi kesembuhan klien
§ Monitoring balance cairan
§ Kaji adanya tanda-tanda dehidrasi dan gangguan elekrolit
§  Berikan makanan dalam porsi sedikit tapi sering.

§  Hidangkan makanan dalam keadaan hangat. berikan makanan yang bervariasi
§  Kerjasama dengan ahli gizi.

·    memberikan pasien/orang terdekat rasa kontrol, meningkatkan partisipasi dalam perawatan dan dapat memperbaiki pemasukan.



·    Menghindari terjadinya dehidrasi



·    membantu mencegah distensi gaster/ ketidaknyamanan.
·    meningkatkan nafsu makan



·   kalori protein dan vitamin unt memenuhi peningkatan kebutuhan metabolik, mempertahankan berat badan dan mendorong regenerasi jaringan.
3
Gangguan rasa nyaman, demam, nyeri kepala, tenggorokan b.d adanya bula

Tujuan:
-Klien merasa nyaman dalam waktu 2 x 24 jam
Kriteria hasil :
-Nyeri berkurang / hilang
-menunjukkan ekspresi wajah/postur tubuh rileks.

§  Berikan kompres dingin.




§Berikan pakaian yang tipis dari bahan yang menyerap









§Hindarkan lesi kulit dari manipulasi dan tekanan



§Usahakan pasien bisa istirahat 7-8 jam sehari.





§Monitor balance cairan.

§Monitor suhu dan nadi tiap 2 jam




§  Berikan analgetik sesuai indikasi

·   Menurunkan suhu tubuh menjadi normal kembali.
§ menurunkan iritasi garis jahitan &tekanan dari baju, membiarkan insisi terbuka terhadap udara, meningkatproses penyembuhan dan menurunkan resiko infeksi
.
§ menghindari adanya penekanan sehingga lesi tidak bertambah meluas





·   meminimalkan dalam bergerak dan meningkatkan relaksasi, menurunkan tegangan otot dan kelelahan umum.
§ menghindari terjadinya dehidrasi
§ meninjau sejauh mana perkembangan pasien.

§ menghilangkan rasa nyeri
4
Gangguan intoleransi aktivitas berhubungan dengan  kelemahan fisik.

Tujuan; Gangguan intoleransi aktivitas tidak terjadi.

Kriteria Hasil : Klien melaporkan peningkatan toleransi aktivitas.

§  Kaji respon individu terhadap aktivitas.





§  Bantu klien dalam memenuhi aktivitas sehari-hari dengan tingkat keterbatasan yang dimiliki klien.
§  Jelaskan pentingnya pembatasan energi.
§  Libatkan keluarga dalam pemenuhan aktivitas klien
·  mengetahui tingkat kemampuan individu dalam pemenuhan aktivitas sehari-hari.
·  klien mendapat dukungan psikologi dari keluarga
·  energi penting untuk membantu proses metabolisme tubuh
·  energi yang dikeluarkan lebih optimal

D.          Catatan Perkembangan
No
Tgl/jam
Diagnosa
Implementasi
Evaluasi
1
6-10-2012 jam 9.30
Gangguan integritas kulit berhubungan dengan  inflamasi dermal dan epidermal.

§  Melakukan observasi kulit setiap hari catat turgor sirkulasi dan sensori serta perubahan lainnya yang terjadi.
§  menganjurkan pasien gunakan pakaian tipis dan alat tenun yang lembut.
§  menjaga kebersihan alat tenun pasien.
§  mengindarkan lesi dari manipulasi dan tekanan
§  Melakukan kolaborasi dengan tim medis

S : pasien mengatakan luka sudah mulai mengering
O : tidak terjadi gangguan integritas kulit
A : masalh teratasi
P : intervensi dihentikan
2
6-10-2012 jam 10.00
Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan  kesulitan menelan
§  mengkaji kebiasaan makanan yang disukai/tidak disukai pasien.
§  memberikan makanan dalam porsi sedikit tapi sering.
§ menyajikan makanan dalam keadaan hangat.
§ menjelaskan pada klien dan keluarga tentang pentingnya nutrisi bagi kesembuhan klien
§ memonitoring balance cairan
§ mengkaji adanya tanda-tanda dehidrasi dan gangguan elekrolit
§  Memberikan makanan yang bervariasi
§  bekerjasama dengan ahli gizi.
S: pasien mengatakan sudah mulai bisa menelan
O : BB= 45 kg
-Pasien mampu menghabiskan ½ porsi makanan.
A : masalah teratasi
P : intervensi dihentikan
3
7-10-2012
Jam 9.30
Gangguan rasa nyaman, demam, nyeri kepala, tenggorokan b.d adanya bula

§  memberikan kompres dingin.
§Menganjurka pasien memakai pakaian yang tipis dari bahan yang menyerap
§menghindarkan lesi kulit dari manipulasi dan tekanan
§mengusahakan pasien bisa istirahat 7-8 jam sehari.
§memonitori balance cairan.
§Mengukur suhu dan nadi tiap 2 jam
§  Memberikan erikan analgetik sesuai indikasi

S : pasien mengatakan sudah merasa nyaman
O : T=37oC
nadi = 60x/menit
A= masalah teratasi
P= intervensi dihentikan
4
7-10-2012 jam 10.20
Gangguan intoleransi aktivitas berhubungan dengan  kelemahan fisik
§  mengkaji respon individu terhadap aktivitas.
§  membantu klien dalam memenuhi aktivitas sehari-hari dengan tingkat keterbatasan yang dimiliki klien.
§  menjelaskan pentingnya pembatasan energi.
§  melibatkan keluarga dalam pemenuhan aktivitas klien
S : pasien mengatakan sudah mulai bisa mobilisasi
O : pasien terlihat mampu memenuhi aktivitas secara mandiri
A : masalh teratasi
P : intervensi dihentikan.





BAB IV
PENUTUP

A.       Kesimpulan
Sindrom Steven Johnson adalah penyakit kulit akut dan berat yang terdiri dari eropsi kulit, kelainan mukosa dan konjungtivitis dengan keadaan umum bervariasi dari ringan sampai berat. Kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel/bula dapat disertai purpura. Penyebab dari penyakit SSJ ini belum diketahui dengan pasti, namun beberapa faktor yang dapat dianggap sebagai penyebab infeksi virus, jamu, bakteri, obat, makanan, dan lain-lain. sindrom ini terlihat adanya trias kelainan berupa kelainan kulit, kelainan selaput lendir, kelainan mukosa, kelainan mata. Adapun diagnosanya berupa gangguan integritas kulit, gangguan nutrisi, gangguan nyaman, gangguan intoleransi aktivitas, gangguan persepsi sensori.

B.        Saran
Dalam pembuatan makalah ini  kelompok menyadari masih minimnya bahan yang kelompok gunakan untuk menyusun makalah ini. Untuk itu kelompok menyarankan supaya ada pihak lain dapat membahas masalah ini lebih mendalam mengenai masalah ini. Dan tentunya bagi mahasiswa yang melakukan asuhan keperawatan diharapkan harus menganalisa keadaan pasien dengan baik dan tepat.



DAFTAR PUSTAKA

§  Corwin, Elizabeth. J. 2001. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.

§  Doenges. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3. Jakarta: EGC.

§  Hamzah, Mochtar. 2005. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 4. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

§  Siregar, R.S. 2004. Sindrom Stevens Johnson. In : Saripati Penyakit Kulit. 2nd edition. Jakarta: EGC

§  Price dan Wilson. 1991. Patofisiologi Konsep Klinik Proses-Proses Penyakit Edisi 2. Jakarta: EGC





No comments:

Post a Comment